Kematian Tragis Sang Lintah Darat
AkuIslam.ID - Dalam al-Qur'an, surah al-Baqarah (2): 275, disebutkan bahwa Allah mengharamkan riba. Dan orang yang mengulang-ulangi mengambil riba padahal telah datang peringatan itu, tempatnya di neraka.
Suasana pasar di Desa Bukit Randu pagi itu belum begitu ramai. Para pedagang yang baru membuka kios dan toko masih sibuk menata barang-barang dagangannya. Mbok-mbok bakul yang biasa menjemput rezeki dengan menggelar jualannya beralas tikar, di sela-sela gang pasar atau di emperan toko, juga baru datang. Mereka saling berharap, hari itu dagangan mereka laku banyak.
Himpitan kebutuhan yang kian mencekik leher membuat beban hidup para bakul kecil itu semakin berat. Maka, banyak di antara mereka yang terpaksa meminjam uang pada bank thithil dan lintah darat. walau harus membayar bunga tinggi.
Di saat pasar masih sepi dan pembeli belum banyak yang datang, Mbok Katemi sudah mendatangi para bakul. Dengan tas besar yang terkempit di ketiaknya dan buku tebal di tangan, perempuan bertubuh tambun itu menagih bakul yang meminjam uang kepadanya satu per satu.
Hampir semua pedagang dan bakul di pasar Bukit Randu mengenal Mbok Katemi sebagai rentenir yang memberikan pinjaman uang dengan bunga tinggi. Perempuan yang wajahnya selalu cemberut masam itu juga terkenal tidak segan-segan akan melontarkan caci maki pedas kepada peminjam yang telah membayar utang.
"Kemarin kamu sudah janji mau membayar dobel cicilan kamu hari ini, sekarang mana?" kata Mbok Katemi kepada seorang wanita tua penjual sayur.
"Iya, Bu. Tapi pagi ini saya betul-betul belum dapat pembeli. Masih terlalu pagi." Dengan gemetar wanita tua itu menjawab.
"Alaahhh. alasan saja. Kamu memang pintar cari alasan, memang uang yang kamu pinjam itu punya nenek moyangmu apa! Heh, Mbakyu, denger ya.... usahaku bisa bangkrut kalau kamu mbulet terus. Sudah ditolong tidak tahu diri!" Mbok Katemi terus mengumbar caci maki. Suaranya yang tinggi melengking terdengar hingga sampai ke sudut-sudur pasar.
Mereka yang sudah mengenal kelakuan Mbok Katemi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sebagian dari mereka tampak mengelus dada prihatin. Selama ini, selama Mbok Katemi mengumbar sumpah serapahnya, tidak ada yang berani melerai. Mereka lebih memilih diam ketimbang berurusan dengan perempuan yang bicaranya lebih tajam dari pisau dapur itu.
"Pokoknya aku ndak mau tahu. Kalau hari ini kamu masih nunggak lagi, besok kamu harus bayar penuh cicilanmu, ditambah bunga 30%." Mata Mbok Katemi yang melotot menatap penuh amarah pada wanita tua yang hanya menunduk pasrah itu.
"Jadi, utang yang harus kamu bayar besok..." Mbok Katemi diam sebentar sambil membolak-balik buku tebalnya." ... jadi cicilanmu perhari Rp. 6.000 di kalikan tiga hari menjadi Rp. 18.000, ditambah bunga 30% sebesar Rp. 5.400. Besok kamu harus membayar Rp. 23.400, dengarkan itu. Jangan ndableg saja, huh!" Dengan wajah merah padam perempuan tambun itu meninggalkan si penjual sayur yang hanya tertunduk lesu.
Begitulah Mbok Katemi dalam menjalankan pekerjaan tercela itu. Dari pagi sampai siang mulutnya terus mengumbar kata-kata kotor kepada setiap orang yang menunggak utang padanya. Bahkan tak segan-segan ia menyita barang pedagang yang tidak mampu membayar utang. Tidak mengherankan, setiap pulang dari pasar, dua tangannya selalu menjinjing bungkusan besar barang sitaan yang dirampasnya.
Sudah puluhan tahun Mbok Katemi bekerja sebagai rentenir. Bahkan sejak dari gadis ia telah membungkam uang. Suaminya, Priyo, dan tiga anaknya tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka juga ikut menikmati. Dari hasil usaha rentenir yang dikelola ibunya, kebutuhan hidup mereka terkecukupi. Ketiga anaknya pund ibelikan sepeda motor.
Seorang ustadz yang rajin mendatangi desa itu memberikan nasihat tentang tercelanya perbuatan membungakan uang dan murka Allah nantinya kepada para pelakunya. Tapi hal itu hanya dianggap angin lalu oleh Mbok Katemi.
Bahkan, ketika usahanya turun dan ia melihat bahwa sang ustadz adalah penyebabnya, diutuslah para begundalnya untuk mengancam dan memberi pelajaran kepada sang ustadz. Karena terus-terusan mendapat teror dan intimidasi itu, sang ustadz pun tidak lagi rutin memberikan dakwahnya ke desa Bukit Randu.
Dari usahanya membungakan uang itu Mbok Katemi telah menjadi orang terkaya di desanya. Sawahnya berhektar-hektar, sedang sapi dan kerbaunya terus beranak pinak. Mbok Katemi juga mempunyai perusahaan penggilingan padi. Semua usahanya itu dikelola oleh suaminya, yang tidak pernah berani melawan kehendaknya.
Suatu hari, sepulang dari pasar, Mbok Katemi yang berboncengan dengan suaminya terjatuh dari motor. Walau tidak mengalami luka serius, bibir Mbok Katemi yang terbentur aspal menjadi bengkak. Semula bengkak di bibir itu tak begitu dihiraukannya. "Nanti juga akan sembuh sendiri," begitu pikirnya menghibur diri.
Namun hari-hari berikutnya bengkak di bibir Mbok Katemi tidak membaik, justru semakin parah. Bibirnya yang bengkak tebal dengan warna hitam kebiruan itu terasa begitu nyeri kalau dia bicara. Sakitnya seperti digigit ribuan semut rangrang.
Terpaksa Mbok Katemi tidak bisa menjalankan usahanya seperti biasa. Agar uangnya tetap berputar, akhirnya dia menyuruh suaminya menggantikan dirinya. Namun setiap pulang dari pasar menarik uang tagihan dari nasabah, suaminya tidak pernah membawa hasil yang diharapkan.
Melihat itu, kemarahan Mbok Katemi memuncak sampai ke ubun-ubun. Mulutnya bergerak-gerak mencaci-maki, namun tidak ada satu kalimat pun yang bisa ia lontarkan. Justru nyeri pada bibirnya makin menjadi-jadi.
Untuk melampiaskan kemarahannya, tangannya kemudian bergerak membabi buta. Habislah wajah suaminya dipukul dan dicakar.
Bengkak di bibir Mbok Katemi tidak kunjung membaik. Segala upaya telah di lakukan Priyo dan anak-anaknya untuk menyembuhkannya. Ke dokter, dukun, sampai paranormal, Tapi hasilnya nol.
Karena sulit mengunyah makanan, tubuh Mbok Katemi sendiri dari hari ke hari semakin kurus. Kondisinya kian menyedihkan dan memprihatinkan.
Selama ibunya sakit, ketiga anaknya sudah mulai enggan merawat. Entah karena tipisnya kasih sayang kepada orang tua, atau bosan terlalu lama merawat sehingga tidak ada lagi yang menungguinya. Priyo pun lebih suka berada di sawah atau di kandang ternaknya ketimbang merawat sang istri.
Saat kondisi tubuh Mbok Katemi semakin lemah tak berdaya, terjadilah peristiwa aneh. Kedua tangan yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit diangkat terus di depan wajahnya. Jari-jarinya bergerak kaku seperti layaknya orang yang sedang menghitung uang. Bola matanya yang membeliak, terus bergerak-gerak mengikuti gerak jemarinya. Dari bibirnya yang bengkak, terus terdengar rintihan lirih dan terkadang suara erangan keras.
Berhari-hari Mbok Katemu terus melakukan itu. Para tetangga yang datang menjenguk, banyak yang mengaitkan kelakuan aneh Mbok Katemi dengan pekerjaannya membungakan uang selama itu.
Penderitaan yang dirasakan Mbok Katemi semakin berat saat menjelang sakaratul maut. Bibirnya yang bengkak tebal ternganga lebar. Bola matanya melotot, dan kedua tangannya yang kaku menggapai-gapai ke atas. Dan yang lebih mengenaskan, dari tenggorokannya terdengar suara seperti batang kayu yang sedang digergaji.
Priyo berusaha menuntun istrinya untuk membaca kalimat syahadat, tapi yang keluar dari mulut istrinya hanya lenguhan-lenguhan tidak jelas. Kadang-kadang suaminya ketakutan melihat mata istrinya yang mendelik putih, seperti melihat suatu ancaman yang sangat mengerikan.
Setelah beberapa jam bergelut dengan sakaratul maut, Mbok Katemi akhirnya meninggal dunia. Saat akan meninggal, kedua tangannya terangkat di depan matanya dengan jari-hari tangan meregang kaku.
Orang-orang yang melayat saling berbisik membicarakan ketidakzaliman jasad Mbok Katemi. Apakah itu balasan atas perbuatannya sebagai lintah darat? Hanya Allah jua Yang Maha Tahu.
Dalam al-Qur'an surah al-Baqarah (2): 275, disebutkan bahwa Allah mengharamkan riba. Dan orang yang mengulang-ulangi mengambil riba padahal telah datang peringatan itu, tempatnya di neraka.
Ancaman Allah bagi pelaku riba yang sangat pedih dan menakutkan, seharusnya menjadi peringatan dan pelajaran bagi manusia di muka bumi untuk menjauhi perbuatan laknatullah itu. Siksa dari Allah swt tidak hanya di hari akhirat, tapi juga di dunia fana ini.
Ilustrasi |
Suasana pasar di Desa Bukit Randu pagi itu belum begitu ramai. Para pedagang yang baru membuka kios dan toko masih sibuk menata barang-barang dagangannya. Mbok-mbok bakul yang biasa menjemput rezeki dengan menggelar jualannya beralas tikar, di sela-sela gang pasar atau di emperan toko, juga baru datang. Mereka saling berharap, hari itu dagangan mereka laku banyak.
Himpitan kebutuhan yang kian mencekik leher membuat beban hidup para bakul kecil itu semakin berat. Maka, banyak di antara mereka yang terpaksa meminjam uang pada bank thithil dan lintah darat. walau harus membayar bunga tinggi.
Di saat pasar masih sepi dan pembeli belum banyak yang datang, Mbok Katemi sudah mendatangi para bakul. Dengan tas besar yang terkempit di ketiaknya dan buku tebal di tangan, perempuan bertubuh tambun itu menagih bakul yang meminjam uang kepadanya satu per satu.
Hampir semua pedagang dan bakul di pasar Bukit Randu mengenal Mbok Katemi sebagai rentenir yang memberikan pinjaman uang dengan bunga tinggi. Perempuan yang wajahnya selalu cemberut masam itu juga terkenal tidak segan-segan akan melontarkan caci maki pedas kepada peminjam yang telah membayar utang.
"Kemarin kamu sudah janji mau membayar dobel cicilan kamu hari ini, sekarang mana?" kata Mbok Katemi kepada seorang wanita tua penjual sayur.
"Iya, Bu. Tapi pagi ini saya betul-betul belum dapat pembeli. Masih terlalu pagi." Dengan gemetar wanita tua itu menjawab.
"Alaahhh. alasan saja. Kamu memang pintar cari alasan, memang uang yang kamu pinjam itu punya nenek moyangmu apa! Heh, Mbakyu, denger ya.... usahaku bisa bangkrut kalau kamu mbulet terus. Sudah ditolong tidak tahu diri!" Mbok Katemi terus mengumbar caci maki. Suaranya yang tinggi melengking terdengar hingga sampai ke sudut-sudur pasar.
Mereka yang sudah mengenal kelakuan Mbok Katemi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sebagian dari mereka tampak mengelus dada prihatin. Selama ini, selama Mbok Katemi mengumbar sumpah serapahnya, tidak ada yang berani melerai. Mereka lebih memilih diam ketimbang berurusan dengan perempuan yang bicaranya lebih tajam dari pisau dapur itu.
"Pokoknya aku ndak mau tahu. Kalau hari ini kamu masih nunggak lagi, besok kamu harus bayar penuh cicilanmu, ditambah bunga 30%." Mata Mbok Katemi yang melotot menatap penuh amarah pada wanita tua yang hanya menunduk pasrah itu.
"Jadi, utang yang harus kamu bayar besok..." Mbok Katemi diam sebentar sambil membolak-balik buku tebalnya." ... jadi cicilanmu perhari Rp. 6.000 di kalikan tiga hari menjadi Rp. 18.000, ditambah bunga 30% sebesar Rp. 5.400. Besok kamu harus membayar Rp. 23.400, dengarkan itu. Jangan ndableg saja, huh!" Dengan wajah merah padam perempuan tambun itu meninggalkan si penjual sayur yang hanya tertunduk lesu.
Begitulah Mbok Katemi dalam menjalankan pekerjaan tercela itu. Dari pagi sampai siang mulutnya terus mengumbar kata-kata kotor kepada setiap orang yang menunggak utang padanya. Bahkan tak segan-segan ia menyita barang pedagang yang tidak mampu membayar utang. Tidak mengherankan, setiap pulang dari pasar, dua tangannya selalu menjinjing bungkusan besar barang sitaan yang dirampasnya.
Sudah puluhan tahun Mbok Katemi bekerja sebagai rentenir. Bahkan sejak dari gadis ia telah membungkam uang. Suaminya, Priyo, dan tiga anaknya tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka juga ikut menikmati. Dari hasil usaha rentenir yang dikelola ibunya, kebutuhan hidup mereka terkecukupi. Ketiga anaknya pund ibelikan sepeda motor.
Seorang ustadz yang rajin mendatangi desa itu memberikan nasihat tentang tercelanya perbuatan membungakan uang dan murka Allah nantinya kepada para pelakunya. Tapi hal itu hanya dianggap angin lalu oleh Mbok Katemi.
Bahkan, ketika usahanya turun dan ia melihat bahwa sang ustadz adalah penyebabnya, diutuslah para begundalnya untuk mengancam dan memberi pelajaran kepada sang ustadz. Karena terus-terusan mendapat teror dan intimidasi itu, sang ustadz pun tidak lagi rutin memberikan dakwahnya ke desa Bukit Randu.
Dari usahanya membungakan uang itu Mbok Katemi telah menjadi orang terkaya di desanya. Sawahnya berhektar-hektar, sedang sapi dan kerbaunya terus beranak pinak. Mbok Katemi juga mempunyai perusahaan penggilingan padi. Semua usahanya itu dikelola oleh suaminya, yang tidak pernah berani melawan kehendaknya.
Suatu hari, sepulang dari pasar, Mbok Katemi yang berboncengan dengan suaminya terjatuh dari motor. Walau tidak mengalami luka serius, bibir Mbok Katemi yang terbentur aspal menjadi bengkak. Semula bengkak di bibir itu tak begitu dihiraukannya. "Nanti juga akan sembuh sendiri," begitu pikirnya menghibur diri.
Namun hari-hari berikutnya bengkak di bibir Mbok Katemi tidak membaik, justru semakin parah. Bibirnya yang bengkak tebal dengan warna hitam kebiruan itu terasa begitu nyeri kalau dia bicara. Sakitnya seperti digigit ribuan semut rangrang.
Terpaksa Mbok Katemi tidak bisa menjalankan usahanya seperti biasa. Agar uangnya tetap berputar, akhirnya dia menyuruh suaminya menggantikan dirinya. Namun setiap pulang dari pasar menarik uang tagihan dari nasabah, suaminya tidak pernah membawa hasil yang diharapkan.
Melihat itu, kemarahan Mbok Katemi memuncak sampai ke ubun-ubun. Mulutnya bergerak-gerak mencaci-maki, namun tidak ada satu kalimat pun yang bisa ia lontarkan. Justru nyeri pada bibirnya makin menjadi-jadi.
Untuk melampiaskan kemarahannya, tangannya kemudian bergerak membabi buta. Habislah wajah suaminya dipukul dan dicakar.
Bengkak di bibir Mbok Katemi tidak kunjung membaik. Segala upaya telah di lakukan Priyo dan anak-anaknya untuk menyembuhkannya. Ke dokter, dukun, sampai paranormal, Tapi hasilnya nol.
Karena sulit mengunyah makanan, tubuh Mbok Katemi sendiri dari hari ke hari semakin kurus. Kondisinya kian menyedihkan dan memprihatinkan.
Selama ibunya sakit, ketiga anaknya sudah mulai enggan merawat. Entah karena tipisnya kasih sayang kepada orang tua, atau bosan terlalu lama merawat sehingga tidak ada lagi yang menungguinya. Priyo pun lebih suka berada di sawah atau di kandang ternaknya ketimbang merawat sang istri.
Saat kondisi tubuh Mbok Katemi semakin lemah tak berdaya, terjadilah peristiwa aneh. Kedua tangan yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit diangkat terus di depan wajahnya. Jari-jarinya bergerak kaku seperti layaknya orang yang sedang menghitung uang. Bola matanya yang membeliak, terus bergerak-gerak mengikuti gerak jemarinya. Dari bibirnya yang bengkak, terus terdengar rintihan lirih dan terkadang suara erangan keras.
Berhari-hari Mbok Katemu terus melakukan itu. Para tetangga yang datang menjenguk, banyak yang mengaitkan kelakuan aneh Mbok Katemi dengan pekerjaannya membungakan uang selama itu.
Penderitaan yang dirasakan Mbok Katemi semakin berat saat menjelang sakaratul maut. Bibirnya yang bengkak tebal ternganga lebar. Bola matanya melotot, dan kedua tangannya yang kaku menggapai-gapai ke atas. Dan yang lebih mengenaskan, dari tenggorokannya terdengar suara seperti batang kayu yang sedang digergaji.
Priyo berusaha menuntun istrinya untuk membaca kalimat syahadat, tapi yang keluar dari mulut istrinya hanya lenguhan-lenguhan tidak jelas. Kadang-kadang suaminya ketakutan melihat mata istrinya yang mendelik putih, seperti melihat suatu ancaman yang sangat mengerikan.
Setelah beberapa jam bergelut dengan sakaratul maut, Mbok Katemi akhirnya meninggal dunia. Saat akan meninggal, kedua tangannya terangkat di depan matanya dengan jari-hari tangan meregang kaku.
Orang-orang yang melayat saling berbisik membicarakan ketidakzaliman jasad Mbok Katemi. Apakah itu balasan atas perbuatannya sebagai lintah darat? Hanya Allah jua Yang Maha Tahu.
Dalam al-Qur'an surah al-Baqarah (2): 275, disebutkan bahwa Allah mengharamkan riba. Dan orang yang mengulang-ulangi mengambil riba padahal telah datang peringatan itu, tempatnya di neraka.
Ancaman Allah bagi pelaku riba yang sangat pedih dan menakutkan, seharusnya menjadi peringatan dan pelajaran bagi manusia di muka bumi untuk menjauhi perbuatan laknatullah itu. Siksa dari Allah swt tidak hanya di hari akhirat, tapi juga di dunia fana ini.
No comments for "Kematian Tragis Sang Lintah Darat"
Post a Comment